Connect with us

Culture

Tradisi Pacu Jalur, Warisan Budaya yang Kini Viral di Sosial Media

Archipelagos.id, Jakarta – Belakangan kompetisi Pacu Jalur mendadak menjadi perhatian dunia. Bermula dari seorang bocah menari dengan gerakan khas di atas perahu viral di media sosial sehingga memunculkan tren “Aura Farming”.

Gerakan “Aura Farming ternyata memikat pengguna media sosial secara global, setelah akun resmi klub sepak bola asal Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), mengunggah video selebrasi para pemainnya yang menirukan gerakan tersebut.

Tak hanya PSG, maskot klub Italia AC Milan juga ikut meramaikan tren ini. Dengan gaya humoris, mereka menulis, “Aura Farming 1899% accuracy,” sambil menirukan gerakan tari yang sama.

Istilah “Aura Farming” akhirnya mengacu pada tindakan seseorang yang dinilai keren atau mampu membangun semangat, sehingga terlihat layaknya tokoh utama.

Dalam konteks pacu jalur, tren ini menampilkan bocah-bocah pendayung dengan gerakan khas memutar tangan dan mengayun untuk menjaga keseimbangan di atas perahu yang melaju cepat, diiringi lagu “Young Black & Rich” karya Melly Mike.

Sejarah Pacu Jalur

Secara etimologi, “pacu” berarti perlombaan, sementara “jalur” merujuk pada perahu. Jadi, pacu jalur secara sederhana dapat diartikan sebagai perlombaan mendayung perahu.

Atraksi ini dimulai dengan letupan meriam karbit sebanyak tiga kali, yang berfungsi sebagai aba-aba bagi peserta, mengingat luasnya arena dan riuhnya ribuan penonton.

Pacu Jalur merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Provinsi Riau.

Kompetisi tahunan ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan atau kayu utuh tanpa sambungan. Masyarakat Riau menyebut jenis perahu dari kayu utuh seperti ini sebagai ‘jalur’.

Bukan hanya sekadar adu cepat di atas sungai, tetapi juga merupakan simbol solidaritas, kekompakan, dan kebanggaan masyarakat lokal.

Setiap jalur, yang biasanya dibuat sepanjang kurang lebih 40 meter, membutuhkan biaya hingga Rp100 juta per unit, yang didanai secara swadaya oleh masyarakat Kuansing menunjukkan semangat gotong royong yang kuat. Setiap perahu akan didayung 50─60 orang, tergantung panjangnya. 

Jika dilihat dari sejarahnya, pacu jalur merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan oleh leluhur dari masyarakat wilayah Kuansing.

Pada zaman dahulu, di abad ke-17 Masehi, perahu jalur hanya dipakai sebagai alat transportasi bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Kuantan.

Awalnya jalur hanya dibuat sederhana, dengan mementingkan fungsi sebagai alat transportasi air karena alat transportasi darat belum semaju sekarang. Namun seiring waktu berjalan, perahu jalur semakin berkembang, baik dari segi bentuk hingga tampilannya.

Perkembangan ini kemudian memunculkan ide lomba adu cepat antara perahu jalur.

Selain menjadi alat transportasi, perahu jalur rupanya memiliki makna filosofis yang mendalam. Mulai dari proses pembuatan perahu jalur, gerakan tari saat pacu jalur berlangsung, hingga proses mendayung jalur dan tugas setiap orang di perahu tersebut.

Proses pembuatan perahu jalur tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Masyarakat yang ingin menebang pohon untuk membuat jalur harus lebih dulu melakukan ritual. Hal ini bertujuan untuk meminta ijin pada pemilik hutan belantara bahwa salah satu pohonnya akan ditebang dan dibuat perahu.

Kemudian, saat perahu jalur sudah jadi dan siap diikutkan dalam pacu jalur, beberapa anak pacu akan diberi tugas penting agar proses mendayung bisa berjalan lancar dan keluar sebagai pemenang.

Diantaranya ialah pemberi aba-aba yang disebut Tukang Concang, juru kemudi yang disebut Tukang Pinggang, pemberi irama dengan gerakan badan yang disebut Tukang Onjai, dan penari yang biasanya adalah anak-anak yang berada di posisi terdepan perahu disebut Anak Coki.

Uniknya, posisi penari ini hampir selalu diisi oleh anak-anak. Alasannya karena tubuh anak-anak ringan sehingga perahu jalur bisa tetap melaju dengan cepat meski si Anak Coki sedang menari di depan perahu.

Tidak hanya asal menari, setiap gerakan Anak Coki di atas perahu memiliki makna yang berbeda.

Bila perahu jalur yang dikendarainya unggul dari perahu lain, Anak Coki akan menari dengan gembira. Dan jika sudah sampai di garis finish, Anak Coki akan melakukan sujud syukur di ujung perahu

Keunikan tradisi ini, yang dijaga selama ratusan tahun oleh masyarakat Kuansing, Riau, membuat Festival Pacu Jalur jadi destinasi wisata yang selalu dinantikan banyak orang setiap tahunnya.
Apalagi kini setelah viral di media sosial, makin banyak lagi orang yang ingin mengetahui sejarah dan makna pacu jalur.

© 2024 Archipelagos Indonesia | Connect to You Great Destination